Salim Silver Workshop |
Stories from behind the wall
Selama ini saya hanya mengenal legenda
perak kotagede dari media. Sebagai sentra kerajinan perak terbesar di indonesia
dan sejumlah ironi dibaliknya.
Entah sejak kapan awal pasti kemasyhuran
kotagede sebagai industri perak, dimana dari berbagai cerita dikatakan sejak
masa pangeran senopati. Namun demikian, menurut Priyo Salim, pemilik Salim
silver yang juga adalah seorang pemerhati dan pelestari kerajinan perak, hal
tersebut agak meragukan. Hal ini dikatakannya, bukan tanpa alasan, dikarenakan
tidak adanya manuskrip dan data kongkrit serta barang bukti kerajinan perak
dari masa tersebut.
Bila mengacu pada data sejarah, pada masa
pemerintahan Verskuir, gubernur hindia
belanda untuk daerah Ngajogjakarta tahun 1930an bersama dengan J.E Jasper,
didasari etika sistem politik praktis bahwa perlunya pengembangan sosial
ekonomi pada daerah jajahan maka dimulailah pembinaan dan pengelolaan kerajinan
perak di Kotagede demi menyuplai kebutuhan konsumsi di negara belanda. Hal ini
kian berkembang takkala madame verskuir yang mempunyai citarasa seni tinggi,
berinisiatif memberikan sentuhan jawa pada setiap produk. Sehingga kemudian
perak asal kotagede dikenal dengan cirinya sendiri. Dan itu eropa menjadi pasar
utama kriya ini.
Berlanjut pada era kekuasaan soekarno dan
seoharto, pemerintahan lalu menetapkap produk perak sebagai cinderamata
kenegaraan, dengan mengorder secara besar-besaran, yang mana ini hal terbukti
membantu para perajin. Kejayaan perak kotagede kian melanglang buana, hingga
kemudian datang krisis moneter pertama pada tahun 1996.
Harga dolar yang dari 2900 naik menjadi
15000 membuat pemerintah menghentikan order mereka,daya beli pasar dalam negeri
pun secara nyata menurun. Namun kontra positifnya karena harga perak yang
tadinya 400ribu perkilo gram menjadi 3 juta rupiah, membuat harga jual yang
naik untuk pasar luar malah menguntungkan.
Lalu datang krisis 98, yang mana berdampak pada semua sektor termasuk
menutup pintu ekspor dari berbagai komoditas dalam negeri. Hal ini mau tidak
mau, memberikan hantaman telak pada produk-produk kriya indonesia termasuk
perak.
Hilangnya pasar berarti berhentinya
produksi dan pengurangan tenaga kerja. Seperti yang di beberkan oleh bapak
Priyo, bila sebelumnya, bengkel miliknya mempunyai 60 orang karyawan, saat ini
tersisa setengahnya saja. Angka yang cukup drastis, walau secara terus terang
pun pak Priyo mengakui Salim silver bisa bertahan karena dukungan pembeli
tetapnya dari luar.
Lalu apa peran pemerintah dalam dalam
membantu para perajin? “Pemerintah bukannya tidak memberikan bantuan, bantuan
alat telah beberapa kali diberikan, demikian juga pembinaan dan pelatihan,
tetapi masalah terbesarnya adalah pasar”. Jelas pak Priyo panjang. Beliau pun
mengatakan telah beberapa kali di ajak berpameran oleh pihak yang berwenang,
bahkan hingga keluar negeri, tetapi itu saja belum cukup, Tandasnya.
“Jadi bukan karena tidak adanya minat para
generasi muda untuk meneruskan kriya ini ya pak?” saya mengemukakan opini
menurut keterangan yang saya dapat dari berbagai media. “Tidak.” Jawab beliau
dengan lugas. “Meski begitu, saya tidak heran bila masyakat di luar berpendapat
seperti itu. Karena pada kenyataannya, citra yang dibentuk sedemikian itu.”
No comments:
Post a Comment