Friday, October 26, 2012

Oleh-oleh dari Kotagede Part 2 ~ Stories from behind the wall

Salim Silver Workshop


Stories from behind the wall

Selama ini saya hanya mengenal legenda perak kotagede dari media. Sebagai sentra kerajinan perak terbesar di indonesia dan sejumlah ironi dibaliknya.
Entah sejak kapan awal pasti kemasyhuran kotagede sebagai industri perak, dimana dari berbagai cerita dikatakan sejak masa pangeran senopati. Namun demikian, menurut Priyo Salim, pemilik Salim silver yang juga adalah seorang pemerhati dan pelestari kerajinan perak, hal tersebut agak meragukan. Hal ini dikatakannya, bukan tanpa alasan, dikarenakan tidak adanya manuskrip dan data kongkrit serta barang bukti kerajinan perak dari masa tersebut.
Bila mengacu pada data sejarah, pada masa pemerintahan  Verskuir, gubernur hindia belanda untuk daerah Ngajogjakarta tahun 1930an bersama dengan J.E Jasper, didasari etika sistem politik praktis bahwa perlunya pengembangan sosial ekonomi pada daerah jajahan maka dimulailah pembinaan dan pengelolaan kerajinan perak di Kotagede demi menyuplai kebutuhan konsumsi di negara belanda. Hal ini kian berkembang takkala madame verskuir yang mempunyai citarasa seni tinggi, berinisiatif memberikan sentuhan jawa pada setiap produk. Sehingga kemudian perak asal kotagede dikenal dengan cirinya sendiri. Dan itu eropa menjadi pasar utama kriya ini.
Berlanjut pada era kekuasaan soekarno dan seoharto, pemerintahan lalu menetapkap produk perak sebagai cinderamata kenegaraan, dengan mengorder secara besar-besaran, yang mana ini hal terbukti membantu para perajin. Kejayaan perak kotagede kian melanglang buana, hingga kemudian datang krisis moneter pertama pada tahun 1996.
Harga dolar yang dari 2900 naik menjadi 15000 membuat pemerintah menghentikan order mereka,daya beli pasar dalam negeri pun secara nyata menurun. Namun kontra positifnya karena harga perak yang tadinya 400ribu perkilo gram menjadi 3 juta rupiah, membuat harga jual yang naik untuk pasar luar malah menguntungkan.  Lalu datang krisis 98, yang mana berdampak pada semua sektor termasuk menutup pintu ekspor dari berbagai komoditas dalam negeri. Hal ini mau tidak mau, memberikan hantaman telak pada produk-produk kriya indonesia termasuk perak.
Hilangnya pasar berarti berhentinya produksi dan pengurangan tenaga kerja. Seperti yang di beberkan oleh bapak Priyo, bila sebelumnya, bengkel miliknya mempunyai 60 orang karyawan, saat ini tersisa setengahnya saja. Angka yang cukup drastis, walau secara terus terang pun pak Priyo mengakui Salim silver bisa bertahan karena dukungan pembeli tetapnya dari luar.
Lalu apa peran pemerintah dalam dalam membantu para perajin? “Pemerintah bukannya tidak memberikan bantuan, bantuan alat telah beberapa kali diberikan, demikian juga pembinaan dan pelatihan, tetapi masalah terbesarnya adalah pasar”. Jelas pak Priyo panjang. Beliau pun mengatakan telah beberapa kali di ajak berpameran oleh pihak yang berwenang, bahkan hingga keluar negeri, tetapi itu saja belum cukup, Tandasnya.
“Jadi bukan karena tidak adanya minat para generasi muda untuk meneruskan kriya ini ya pak?” saya mengemukakan opini menurut keterangan yang saya dapat dari berbagai media. “Tidak.” Jawab beliau dengan lugas. “Meski begitu, saya tidak heran bila masyakat di luar berpendapat seperti itu. Karena pada kenyataannya, citra yang dibentuk sedemikian itu.” 

No comments: