Friday, October 26, 2012

Tiga budha.


Sitisewu 29 september 2012
Sabtu, 07,01am


Hari sudah cukup sore ketika saya tiba di kompleks candi mendut. Matahari masih terang namun terasa perlahan turun. Bangunan candi tunggal disebuah tanah lapang menerbitkan sejumlah tanya. Segera saja saya melangkah ke loket diluar pagar, membayar tiket senilai 3300 rupiah dan melanjutkan penjelajahan secara lebih seksama *tsah.. Dari bawah pohon beringin besar di sisi barat candi saya duduk-duduk sejenak sambil memikirkan apa yang melatari pembangunan candi ini. Tidak jua menemukan jawaban, saya pun mendekat dan meniti tangga naik kedalam candi. Di dalam ruang candi yang bisa dikatakan besar, dengan langit-langit tinggi terdapat tiga patung budha yang duduk dalam posisi yang berbeda. Memasukinya, saya di sergap aura ketenangan yang kuat. Seperti memasuki suatu waktu yang berbeda. Terkesiap memandangi keagungan sang budha, saya lalu membakar sebatang hio dan memanjatkan sebuah doa akan kebahagian dan umur panjang. saya memang bukan penganut budha, tetapi entah mengapa terkadang saya merasa bahwa saya adalah pengikut sang bodhisatva.
Menurut bapak yang bertugas menjaga diruang dalam candi, hampir setiap hari, ada saja umat budha yang datang dan bersembahyang di sini. Dari aroma hio yang terus menerus di kaki sang budha, saya pun bisa menyimpulkan demikian. Apalagi, didepan candi, ada sebuah vihara yang tidak bisa dikatakan kecil, berisi sebuah patung budha berlapis emas yang sedang berbaring. Bisa di pastikan, memang saat ini,kompleks candi mendut lebih difungsikan sebagai tempat ibadah ketimbang borobudur. Dimana saat prosesi waisak pun, perjalanan akan di mulai dari candi mendut ini, kemudian berjalan ke utara ke candi pawon dan akan berakhir di candi borobudur.
Kompleks candi mendut ini memang sangat kecil bila dibandingkan dengan borobudur. Hanya butuh kurang dari lima menit untuk berjalan mengitarinya.namun bila kita membutuhkan kontemplasi, maka ketiga budha yang telah duduk diam dalam keagungan sejak ribuan tahun yang lalu, bisa jadi penenang yang dahsyat.  AIDA
                                                        ****

Oleh-oleh dari Kotagede Part 2 ~ Stories from behind the wall

Salim Silver Workshop


Stories from behind the wall

Selama ini saya hanya mengenal legenda perak kotagede dari media. Sebagai sentra kerajinan perak terbesar di indonesia dan sejumlah ironi dibaliknya.
Entah sejak kapan awal pasti kemasyhuran kotagede sebagai industri perak, dimana dari berbagai cerita dikatakan sejak masa pangeran senopati. Namun demikian, menurut Priyo Salim, pemilik Salim silver yang juga adalah seorang pemerhati dan pelestari kerajinan perak, hal tersebut agak meragukan. Hal ini dikatakannya, bukan tanpa alasan, dikarenakan tidak adanya manuskrip dan data kongkrit serta barang bukti kerajinan perak dari masa tersebut.
Bila mengacu pada data sejarah, pada masa pemerintahan  Verskuir, gubernur hindia belanda untuk daerah Ngajogjakarta tahun 1930an bersama dengan J.E Jasper, didasari etika sistem politik praktis bahwa perlunya pengembangan sosial ekonomi pada daerah jajahan maka dimulailah pembinaan dan pengelolaan kerajinan perak di Kotagede demi menyuplai kebutuhan konsumsi di negara belanda. Hal ini kian berkembang takkala madame verskuir yang mempunyai citarasa seni tinggi, berinisiatif memberikan sentuhan jawa pada setiap produk. Sehingga kemudian perak asal kotagede dikenal dengan cirinya sendiri. Dan itu eropa menjadi pasar utama kriya ini.
Berlanjut pada era kekuasaan soekarno dan seoharto, pemerintahan lalu menetapkap produk perak sebagai cinderamata kenegaraan, dengan mengorder secara besar-besaran, yang mana ini hal terbukti membantu para perajin. Kejayaan perak kotagede kian melanglang buana, hingga kemudian datang krisis moneter pertama pada tahun 1996.
Harga dolar yang dari 2900 naik menjadi 15000 membuat pemerintah menghentikan order mereka,daya beli pasar dalam negeri pun secara nyata menurun. Namun kontra positifnya karena harga perak yang tadinya 400ribu perkilo gram menjadi 3 juta rupiah, membuat harga jual yang naik untuk pasar luar malah menguntungkan.  Lalu datang krisis 98, yang mana berdampak pada semua sektor termasuk menutup pintu ekspor dari berbagai komoditas dalam negeri. Hal ini mau tidak mau, memberikan hantaman telak pada produk-produk kriya indonesia termasuk perak.
Hilangnya pasar berarti berhentinya produksi dan pengurangan tenaga kerja. Seperti yang di beberkan oleh bapak Priyo, bila sebelumnya, bengkel miliknya mempunyai 60 orang karyawan, saat ini tersisa setengahnya saja. Angka yang cukup drastis, walau secara terus terang pun pak Priyo mengakui Salim silver bisa bertahan karena dukungan pembeli tetapnya dari luar.
Lalu apa peran pemerintah dalam dalam membantu para perajin? “Pemerintah bukannya tidak memberikan bantuan, bantuan alat telah beberapa kali diberikan, demikian juga pembinaan dan pelatihan, tetapi masalah terbesarnya adalah pasar”. Jelas pak Priyo panjang. Beliau pun mengatakan telah beberapa kali di ajak berpameran oleh pihak yang berwenang, bahkan hingga keluar negeri, tetapi itu saja belum cukup, Tandasnya.
“Jadi bukan karena tidak adanya minat para generasi muda untuk meneruskan kriya ini ya pak?” saya mengemukakan opini menurut keterangan yang saya dapat dari berbagai media. “Tidak.” Jawab beliau dengan lugas. “Meski begitu, saya tidak heran bila masyakat di luar berpendapat seperti itu. Karena pada kenyataannya, citra yang dibentuk sedemikian itu.” 

Oleh-oleh dari Kotagede





Gerbang Kotagede



Bapak Priyo Salim
Gerbang selamat datang di sentra kerajinan perak kotagede menyambut saya, saat memasuki jalan kemasan. Inilah pusat kerajinan perak yang terkenal di seantero indonesia bahkan hingga ke mancanegara. toko-toko yang menjajakan hasil kerajinan perak ini, berderet sepanjang jalan, menggoda mata dengan etalase yang memajang berbagai pernik dan ornamen cantik.
Terus berjalan, naik turun menyusuri pedestrian yang cukup nyaman, saya mendapati banyak papan penanda yang bertuliskan “kerajinan perak” namun kaki saya terus saja melangkah, seraya mengamati jajaran showroom tersebut. Hingga kemudian saya sampai pada sebuah pertigaan yang cukup sempit, dengan sebuah rumah besar bercat biru disudut jalan.  Tampaknya rumah ini telah lama ditinggalkan penghuninya, namun kesan megah tidak hilang begitu saja meski dalam kondisi tak terawat. ada sedikit keraguan apakah harus berbelok ke kiri atau lurus saja. Akhirnya saya berbelok kekiri, dan menemukan perbedaan yang cukup signifikan dari ruas jalan kemasan. ruas
 Dari depan tampak seperti sebuah gang yang agak menakutkan, tidak tampak ada sesuatu dibalik tembok-tembok tinggi yang gelap dan muram itu, namun kemudian sebuah pintu yang terbuka, dengan papan nama salim silver, seperti menarik saya untuk melongok lebih dalam. Benar saja, rupanya itu ada bengkel kerja pengrajin perak. Tetap seperti yang saya cari.
Sebagaimana adat berkunjung dalam budaya timur, kita harus memperkenalkan diri pada sang empunya rumah dan meminta izin sebelum memasuki rumah. Saya bertanya pada beberapa perajin yang tampak sibuk. Dan mereka menyaranka saya untuk langsung menemui pemilik workshop tersebut.
proses kerja
Tidak butuh proses yang panjang, ibu maryati, mempersilahkan saya untuk melihat secara langsung namun mengingatkan bahwa ini sudah hampir pukul 4, jam kerja hampir selesai. Tanpa membuang-buang masa, saya segera kembali ke bengkel yang berada di sisi pintu masuk. Disini tampak setiap orang asyik dengan pekerjaan mereka masing-masing. Setelah mengambil beberapa photo dan mengamati kesibukan mereka, saya kembali ke kantor dan bertemu langsung dengan pewaris sekaligus pemilik usaha kerajinan salim silver ini.
Priyo Salim, demikian pria paruh baya ini memperkenalkan diri, seraya mempersilahkan saya duduk di sofa panjang berwarna krem di salah satu sudut ruang kantor. Pak Priyo lalu menjelaskan proses pembuatan sebuah perhiasan atau ornamen perak. Acir, atau  perak mentah dilebur dan dicampur dengan tembaga atau platina karena pada dasarnya, perak mentah terlalu lunak untuk dapat dibentuk. Lalu kemudian di bentuk menjadi bentuk lempengan atau plepet dan tali atau urut, menurut tevak atau tipis plepet dan besar atau kecil urut. Dari proses ini kemudian barulah bisa lakukan pembentukan perhiasan sesuai yang kita kehendaki.
Salah satu teknik membentuk perak disebut filigri yaitu tali perak dibentuk menurut pola dan disusun hingga membentuk rangkaian yang dikehendaki. Dari beragam bentuk filigri ini nanti bisa dikembangkan menjadi banyak ornamen yang indah seperti bunga, hewan, dan berbagai ragam lainnya, namun juga bisa dikombinasikan dengan hasil ukiran dan pahatan.
proses kerja
Proses yang dilalui memang bisa dikatakan rumit dan cukup panjang, butuh ketelatenan dan sentuhan seni. Tidak salah bila kemudian banyak yang terpesona dan jatuh cinta pada keindahan perak, termasuk saya :D hingga saat menyambangi showroom Salim Silver yang terletak di jalan kemasan, saya terpaksa harus menahan hati menyaksikan semua perhiasan yang begitu menggoda iman. Meski demikian akhirnya saya memutuskan menghadiahkan pada diri sendiri sebuah pin filigri dari tembaga, yang saya yakin sangat cantik disematkan pada baju bodo-baju tradisional orang bugis saat menghadiri sebuah pesta pernikahan. 

HANGOUT & PLAY


Sitisewu 25 September 2012
Selasa 12,07pm

pengenjung sebuah cafe yang asyik bermain kartu 


Selama berada di jogja ini, saya menyempatkan diri untuk hangout di tempat-tempat tongkrongan anak muda jogja yang cukup populer. Tentu saja saya menemui keadaan yang cukup semarak, tapi suasana santai sangat terasa.
Kedati demikian ada satu hal yang menjadi perhatian saya. Hampir disemua tempat-tempat gaul tersebut saya melihat sebuah keunikan. Orang-orang bermain kartu, ya kartu remi. Entah para lelaki atau para gadis-gadisnya.
Bagi saya, ini sungguh menerbitkan keheranan, karena di tempat asal saya, kartu remi, atau gaple hanya di mainkan di pos ronda, oleh para pria-pria sebagai permainan melewatkan waktu menanti pagi. Atau sebuah permainan yang kemudian di tunggangi oleh unsur strategi demi rupiah, dan digelar dalam ruang tertutup nan rahasia.
Mungkin secara umum, ini berarti hal yang sama. Tetapi ketika anak muda jogja memainkannya di cafe, yang selama ini saya tau punya kelas di mata sebagian orang, maka mau tidak mau membuat saya memaknainya secara berbeda. Sedemikian sempitkah ruang bermain mereka hingga merasa syah-syah saja membawanya ruang publik? Atau sedemikian luasnya mereka melihat ruang publik hingga bisa menerima segala bentuk permainan? Entahlah.. Saya hanya beropini, tanpa maksud menilai terlebih menjudge. Meski sejujurnya, kartu remi atau gaple, dimainkan dalam konteks apapun memang mengasyikkan. Hayuk.. Di bagi kartunya.. ☺      AIDA
                                                                                                                ****